Bicara soal sekolah gratis, tentu tidak lepas dari progam wajib belajar sembilan tahun, kurikulum, dan konsep pendidikan di Tanah Air. Ketentuan wajib belajar misalnya. Program yang pertama kali dilansir pada 1984 itu berjalan bias. Meski berembel-embel wajib, kenyataannya program itu tidak lebih dari sebuah imbauan.
Berbeda dengan negara-negara seperti Jerman, Inggris, Belanda, Australia, compulsory education (wajib belajar) bersifat paksaan. Bila anak usia sekolah tidak bersekolah, si orang tua bisa terjerat sanksi. Namun, pemerintahnya memfasilitasi penuh tuntutan kewajiban tersebut. Sayangnya, di tengah minimnya dana dan tingkat penyelewengan yang tinggi, Pemerintah Indonesia terkesan memaksakan mengadopsi konsep tersebut. Alhasil, tahun keempat pelaksanaan program sekolah gratis belum menunjukkan hasil maksimal.
Seperti yang diutarakan Direktur Pembinaan SMP Depdiknas Didik Suhardi, meski angka partisipasi kasar (APK) siswa SMP secara nasional mencapai 96,18 persen, penyebarannya belum merata. Beberapa provinsi, kabupaten, maupun kota masih ada yang memiliki APK di bawah 80 persen.
Pengakuan belum maksimalnya target tersebut juga diakui Mudjito, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas. Meski Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI sederajat pada 2008 telah mencapai 94,81 persen, hal itu masih cukup berat mencapai angka ideal 97 persen. Lantaran dikejar target itu, pemerintah memprioritaskan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar (SD dan SMP). Bahkan menurut Bambang Indrianto, Sekretaris Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, walau akan terjadi pergantiaan pucuk pemimpin negara, program sekolah gratis dinilai tetap akan berjalan. �Terlalu riskan untuk mengubah kebijakan yang telah mencapai tahap progresif,� papar dia.
Melirik Negara Lain
Untuk penyegar ingatan, marilah sejenak melirik mekanisme pendidikan dasar gratis yang berlangsung di beberapa negara lain. Di India, negara berpopulasi satu miliar jiwa itu merupakan negara selain Indonesia yang menandatangani Deklarasi Education For All (EFA) di Dakar, Senegal. Bangladesh, Brasil, China, Meksiko, Mesir, Nigeria, dan Pakistan juga ambil bagian.
India, meski telah mendapat fondasi sistem pendidikan yang kuat dari Inggris, eks penjajahnya, upaya mengatasi buta huruf masih terjadi. Tidak heran bila pemerintahnya, melalui Department of Higher Education dan Department of School Education and Literacy, mendorong penuh berdirinya institusi pendidikan berkualitas tinggi, diikuti usaha penetrasi pendidikan hingga ke daerah pedalaman. Namun, upaya itu masih juga tersengal-sengal. Hingga kini, hanya negara bagian Kerala yang mencapai target pendidikan itu.
Sistem pendidikan India menggunakan pola dan substansi dari negara Barat, yang mengakomodasi pendidikan dasar pada peserta didik berumur 6-14 tahun. Khusus bagi mereka yang tidak dapat bergabung di sekolah reguler, anak-anak putus sekolah, pekerja anak, serta anak-anak yang di wilayah pinggiran yang tidak terdapat akses bersekolah, program itu bernama Non-Formal Education (NFE).
Fokus utama pola itu ditujukan untuk 10 negara bagian yang memilik pendidikan terbelakang. Selanjutnya, diteruskan ke daerah pedalaman termasuk daerah perbukitan, perdesaan, serta gurun. Kini, program tersebut telah berkembang hingga ke 25 dari 28 jumlah negara bagian. Sebagai pelaksana NFE tersebut ialah organisasi sosial yang secara sukarela mau menjalankannya.
Berbeda di Argentina. Negara dengan populasi terpelajar paling besar di Amerika Latin itu telah mengembangkan program pemberantasan buta huruf selama beberapa periode. Tahun 1970, Argentina telah menghasilkan 92,65 persen warga berusia 15 tahun ke atas yang tidak buta huruf. Bahkan upaya menghapus buta huruf telah dilakukan Pemerintah Argentina secara konsisten sejak 1930.
Fondasi utama pengembangan budaya negara ini adalah sekolah dasar.
Argentina menggunakan sistem pendidikan yang dipakai di Prancis. Pendidikan awal bermula pada usia lima tahun (tahap prasekolah).
Selepas itu, pelajar akan melalui tiga tahap pendidikan selama tiga tahun untuk setiap tahap. Tahap pertama dan kedua yang ialah sekolah dasar pada usia 6 hingga 11 tahun (EGB1 dan EGB2). Pada tahap ketiga terdapat sekolah menengah rendah atau EGB3 (pada usia 11 hingga 14 tahun). Di Argentina, rakyatnya tidak wajib melalui pendidikan menengah tinggi. Setiap orang yang berusia 6-14 tahun wajib bersekolah.
Alhasil, Argentina memunyai tingkat melek huruf yang tinggi dibandingkan negara lain di Amerika Selatan. Lagi-lagi faktor ekonomi rakyat Argentina yang cukup baik mendukung pelaksanaan program tersebut.
Berangkat dari pengalaman itu, Pemerintah Indonesia juga berorietasi pada pemerataan pendidikan. Di Indonesia, melalui program sekolah gratis, sistem pendidikan juga mengincar tingkat pemula (pendidikan dasar). Untuk mendukung program tersebut, selain bantuan operasional sekolah, pemerintah melansir bantuan operasional manajemen mutu (BOMM). Komponennya pada tahun ini sebesar 90.000 rupiah per siswa tingkat SMU dan 120.000 rupiah untuk siswa bagi SMP/SMK �Pendidikan yang menjangkau seluruh elemen masyarakat, baru dilanjutkan dengan peningkatan mutu pendidikan,� ungkap Bambang mengenai grand design sistem pendidikan dasar di Indonesia.
No comments:
Post a Comment